DEPOSTJABAR.COM (MAJALENGKA).- Pengrajin Bata Merah di Kabupaten Majalengka mengeluhkan sepinya penjualan sejak beberapa tahun terakhir, diduga akibat kalah bersaing dengan hebel yang dinilai lebih lebih cepat cara pemasangannya serta lebih efisien
Di Kabupaten Majalengka sendiri banyak sentra produk bata merah yang sudah berdiri puluhan tahun serta dikenal oleh masyarakat luas, seperti di Desa Jatimulya, Baribis, Girimukti, Kasokandel, Kecamatan Kasokandel, Kelurahan Munjul, Desa Pasirmuncang, Cijurey, Kecamatan Panyingkiran, Kecamatan Ligung serta Talaga .
Turunnya pemasaran bata merah dirasakan salah seorang perajin, Karjo ( 55 ) warga Desa Baribis, Kecamatan Cigasong, yang sudah menekuni usaha sejak tahun 1994. Penurunan produksi sekarang ini lebih dari setengahnya dibanding 7 tahun lalu.
Terlebih disaat Covid – 19 melanda usahanya nyaris benar – benar terpuruk karena tidak ada pesanan. Beberapa pekerja yang biasanya memproduksi 1.000 lebih sehari terpaksa diberhentikan hingga mencetak bata dilakukan sendiri.
“Setelah Covid melanda saya pikir usaha akan bangkit seperti sektor lainnya, tapi ternyata untuk usaha bata tidak demikian. Penjualan bata tetap sepi,” ungkap Karjo.
Dia menjual bata seharga Rp 650 perbuah ukuran 22 cm x 10 cm dengan ketebalan 6 cm. Harga sebesar itu belum dikurangi biaya produksi yang mencapai Rp 500.
Tingginya biaya produksi ini karena harga bahan baku sudah naik sejak lama, tanah merah, dedak untuk campuran tanah serta bahan bakar, demikian juga dengan upah kerja dengan sistem borongan.
“Dedak dari pabrik yang semula hanya Rp 5.000 per karung sudah lama naik menjadi Rp 6.000, itu juga sulit diperoleh apalagi di tahun kemarin hingga beberapa bulan terakhir ini karena banyak pabrik penggilingan yang tutup,” ungkap Karjo.
Menurutnya penjualan setiap minggunya sepi, kadang menjual kadang tidak sama sekali. Makanya pembakaran batapun benar- benar dilakukan terjadwal mengurangi resiko.
Senada disampaikan Yanto pemilik lio (pabrik bata) di Jatimulya, karena penjualan sepi dia bahkan menutup satu lio dari tiga lio. Bahkan truk yang semula dioperasikan untuk mengangkut bata dari beberapa lio milik pengusaha lain, kini telah dijual.
“Hese ayeuna mah, aya saingan hebel, usaha bata teu bisa diandelkeun beda jeung baheula. Ayeuna mah di kampung oge marake hebel lain bata,” ungkap Yanto.
Malah menurutnya sebagian masyarakat dikawasan industri bata saja telah menggunakan hebel sebagai bahan bangunan dengan alasan hemat dan praktis, tidak butuh banyak semen dan adukan. terlebih saat pemasangan hebel tidak butuh pasir.
Perajin bata merah Yanto, Edi dan Karjo berharap ada keberpihakan kepada mereka, setidaknya proyek – proyek yang dibangun oleh pemerintah bisa menggunakan bata merah dengan salah satu bahan bangunannya.
“Kalau masyarakat umum kan tidak mugkin bisa dimohon untuk memanfaatkan bata, apalagi dipaksa. Kami harap pemerintah melalui kebijakannya bisa memberikan himbauan penggunaan bata merah sebagai bahan bangunan proyek ,” pinta Edi. (ast)