DEPOSTJABAR.COM, (BANDUNG).-Gubernur Jabar, Dedi Mulyadi optimis ke depan ekonomi Jawa Barat akan bergerak lebih cepat. Dalilnya, sudah melakukan pergeseran anggaran. Tanpa ada menjelaskan data kuantitatif.
“Kalau pertumbuhan, kita kan sudah melakukan pergeseran anggaran, dari pergeseran anggaran itukan sudah terlihat postur anggarannya, sebagaimana yang menjadi rekomendasi pansus LKPJ,” katanya.
Posturnya adalah, kata Gubernur Dedi, dipeningkatan belanja infrastruktur, peningkatan belanja pendidikan, peningkatan belanja kesehatan, realokasi belanja penanganan bencana, penanganan sampah, lingkungan hidup dan berbagai bentuk postur belanja lainnya.
“Yang itu diperlukan warga Jawa Barat sebagai stimulus bagi pertumbuhan ekonomi, perkembangan ekonomi, termasuk, pertumbuhan dan perkembangan investasi,” terangnya.
Soal kenapa BPS mencatat Ekonomi Jabar triwulan I 2025 terhadap triwulan I 2024 mengalami pertumbuhan sebesar 4,98 persen, kalah dengan Banten —5,19 persen, Yogyakarta 5,11 dan Jawa Timur 5,00 persen.
“Enggak lah, kita lebih baik. Nah, pertumbuhan ekonomi di Jawa Barat dalam 3 bulan terakhir inikan relatif baik pertumbuhan ekonominya,” kilahnya, seraya bertanya lagi.
“Bapak pakai data yang mana,” tanyanya.
“BPS pak,” jawab wartawan.
“Enggak lah, pertumbuhannya relatif, angka serapan anggarannya juga relatif lebih baik,” kilahnya kembali.
Namun, bantahannya itu belum disertai data yang bisa memperkuat keyakinan publik, seperti tingkat serapan anggaran, target investasi, proyeksi belanja pemerintah maupun daya beli masyarakat.
Soal apakah postur APBD 2025 itu bisa menjaga ekosistem pers yang sehat, Dedi Mulyadi tak menjawabnya, ia memilih menjawab pertanyaan wartawan lain dengan topik yang berbeda.
Ketua DPRD Jabar Buky Wibawa Karya Guna juga ditanya hal tersebut, usai antar Dedi Mulyadi ke mobil pribadinya, namun dia tidak mau menjawab.
“Mau rapat lagi,” katanya singkat, tanpa penjelasan lebih lanjut.
Padahal, ekosistem pers yang sehat sangat penting dalam menjaga keberlangsungan demokrasi. Jadi ini bukan hanya soal menjaga kelangsungan hidup media massa, tapi juga memastikan masyarakat tetap mendapat akses terhadap informasi yang independen dan akurat.
Sebagaimana diketahui, beberapa tahun terakhir, banyak perusahaan media di Jawa Barat menghadapi tekanan berat. Pendapatan iklan merosot drastis akibat persaingan dari media sosial dan influencer. Ditambah lagi, kebijakan Pemprov Jabar yang memangkas anggaran publikasi dari Rp 50 miliar menjadi hanya Rp 3,1 miliar, menambah beban pelaku industri media.
“Ini bukan hanya soal efisiensi anggaran. Ini soal bagaimana negara memelihara pilar keempat demokrasi,” ujar Lyster, seorang wartawan senior. Ia menyesalkan sikap dingin pemerintah yang tampaknya menganggap enteng ancaman kebangkrutan media.
Senada, jurnalis lainnya, Husein, menyoroti kecenderungan Gubernur lebih aktif membangun citra lewat media sosial pribadi ketimbang memperkuat kerja sama strategis dengan media massa. “Jangan-jangan memang disengaja untuk mematikan perusahaan media secara perlahan,” katanya. (Ries)