Oleh : Imran Ramdani, Anggota Divisi Kebijakan Publik Pengurus Iluni UI Wilayah Jawa Barat
Di tengah dunia yang menghadapi fragmentasi geopolitik, krisis iklim, dan disrupsi teknologi, peringatan 70 tahun Konferensi Asia-Afrika (KAA) Bandung 1955 menjadi momen tepat untuk merefleksikan kembali prinsip-prinsip visionernya.
Simposium Akademik Internasional Peringatan 70 Tahun Konferensi Bandung (24 April 2025, Bandung) bertujuan menghidupkan kembali “Semangat Bandung” yang mengedepankan dekolonisasi, penghormatan bersama, dan kerja sama Selatan-Selatan, sekaligus menjawab tantangan abad ke-21.
Diselenggarakan oleh Universitas Indonesia dan Fudan University (Tiongkok), dengan dukungan pemangku kepentingan pemerintah dan bisnis, acara ini menegaskan relevansi solidaritas Asia-Afrika dalam tatanan global yang terus berubah.
Dari Dekolonisasi ke Otonomi Strategis: Warisan Bandung yang Direinterpretasi
Konferensi Bandung, yang dihadiri 29 negara-negara Asia dan Afrika yang baru merdeka, adalah titik balik sejarah pascakolonial. Acara ini menolak dikotomi Perang Dingin, memperjuang-kan hak menentukan nasib sendiri, dan menjadi fondasi Gerakan Non-Blok.

Tujuh dekade kemudian, Global Selatan menghadapi ketergantungan baru—kesenjangan digital, ketimpangan ekonomi, dan kerentanan iklim—yang membutuhkan reinterpretasi modern atas semangat Bandung.
Pidato kunci dan panel simposium akan mengubah ide-ide dasar konferensi ini menjadi strategi aksi. Wakil Menteri Luar Negeri Indonesia Arif Havas Oegroseno dan Duta Besar Tiongkok untuk Indonesia Wang Lutong memimpin diskusi tentang “otonomi strategis,” menekankan pentingnya negara berkembang membentuk jalur independen di tengah persaingan AS-Tiongkok.
Sementara itu, kehadiran Duta Besar India, Sandeep Chakravorty menyoroti peran India sebagai jembatan antara non-blok tradisional dan multipolaritas kontemporer.
Diskusi Panel untuk Kemajuan: Lima Pilar Kolaborasi
Lima diskusi panel tematik simposium mencerminkan prioritas multidimensi Global Selatan hari ini:
1. Otonomi Strategis dan Ketahanan Global Selatan
Fokus: Mengurangi ketergantungan pada institusi Barat melalui rantai pasok regional dan sistem keuangan.
Analisis: Prof. Swaran Singh (Jawaharlal Nehru University) telah mengeksplorasi diplomasi India sebagai “kekuatan menengah” dalam menyeimbangkan aliansi global.
2. Menghidupkan Kembali Semangat Bandung melalui Diplomasi Budaya
Fokus: Pertukaran soft power, pendidikan, dan pariwisata untuk melawan polarisasi.
Sorotan: Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mengangkat ekonomi kreatif Bandung sebagai alat konektivitas budaya.
3. AI, Teknologi Tinggi, dan Masa Depan Digital
Fokus: Menutup kesenjangan teknologi Global Selatan. Dr. Wang Yaning (GEM Central R&D) telah membahas peran Tiongkok dalam kolaborasi teknologi energi terbarukan.
4. Memperkuat Tata Kelola Global melalui Solidaritas Selatan-Selatan
Fokus: Mereformasi institusi multilateral seperti PBB dan WTO. Prof. Zhao Kejin (Tsinghua University) diharapkan mendorong suara bersama Global Selatan dalam tata kelola AI.
5. Masa Depan Berkelanjutan: Energi, Ketahanan Pangan, dan Kesehatan
Fokus: Adaptasi iklim dan kesiapan pandemi. Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono kemungkinan membahas distribusi vaksin yang adil.
Simposium sebagai Momentum Penting
Di era fragmentasi, acara ini menjadi simbol komitmen baru untuk pemecahan masalah kolektif. Peran menonjol Tiongkok—melalui Fudan University dan delegasi bisnis—menunjukkan ambisinya sebagai mitra, bukan hegemon, dalam pembangunan Global Selatan.
Sementara Indonesia, sebagai ekonomi terbesar ASEAN, berupaya memanfaatkan warisan KAA Bandung (Semangat Dasasila Bandung) untuk menjembatani rivalitas kekuatan baru.
Keterlibatan pemangku kepentingan ekonomi seperti Kadin Indonesia dan Kamar Dagang Tiongkok menegaskan pergeseran dari solidaritas ideologis ke kerja sama pragmatis. Seperti dikatakan Prof. Arief Anshory Yusuf (Dewan Ekonomi Nasional), “Semangat Bandung harus berevolusi dari pascakolonialisme politik ke kemandirian ekonomi dan teknologi.”
Mengambil momentum kebersamaan hadirnya perwakilan pemimpin dan sivitas akademika negara-negara Asia dan Afrika, pengurus Iluni UI (Ikatan Alumni UI) Wilayah Jawa Barat, juga menyuarakan “Dengan Semangat Dasasila Bandung (Bandung Spirit) Ciptakan Perdamaian Dunia, Merdeka Palestina”.
Simposium ini bukan sekadar peringatan simbolis, melainkan panggung untuk merancang langkah konkret bagi solidaritas Global Selatan. Dengan menggabungkan warisan Konferensi Bandung 1955 dan tantangan kontemporer—mulai dari otonomi strategis, kesenjangan digital, hingga krisis iklim—acara ini menawarkan tiga wawasan kunci:
1. Solidaritas Selatan-Selatan tetap relevan sebagai penyeimbang dominasi Barat, tetapi perlu diadaptasi ke bidang ekonomi, teknologi, dan tata kelola global.
2. Kolaborasi pragmatis antara pemerintah, akademisi, dan bisnis (seperti inisiatif energi terbarukan Tiongkok-Indonesia) menjadi kunci mengurangi ketergantungan.
3. Semangat Bandung hidup melalui pendekatan inklusif, seperti diplomasi budaya dan pemerataan akses kesehatan, yang memperkuat identitas bersama Global Selatan.
Dengan menghubungkan masa lalu dan masa depan, simposium ini memiliki potensi melahirkan “Dokumen Bandung 2.0″—sebuah peta jalan untuk Global Selatan yang mandiri, setara, dan berkelanjutan di tengah gejolak abad ke-21.*