DEPOSTJABAR. COM (TASIKMALAYA).- Ratusan warga Guranteng dan Buniasih mendatangi kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Tasikmalaya, Jalan Raya Cikunir Kecamatan Singaparna.
Kedatangan mereka untuk minta sertifikat tanah yang ada di Guranteng dan Buniasih sebagai daerah relokasi bencana untuk segera dibuat.
Menanggapi hal tersebut Kepala BPN Kabupaten Tasikmalaya, Syamsu Wijana S.SiT, M.Si, C.MED Q.RMP mengatakan, BPN memang telah menerima surat Ketua DPD LPM Kabupaten Tasikmalaya tertanggal 17 Maret 2025 yang ditujukan ke BPN.
“Mereka mengajukan secara resmi ke kantor BPN Kabupaten Tasikmalaya, perihal permohonan pendaftaran hak atas tanah untuk warga Picung dan Antralina,” ujar Syamsu, di kantornya, Senin (19/5/2025).
Pada tanggal 16 April 2025, tanah Pangangonan yang berada di Desa Guranteng dan Desa Buniasih pada dasarnya bisa diproses menjadi tanah pengganti bencana asalkan seluruh persyaratan pemohon harus terpenuhi seperti formulir permohonan, namun untuk dokumen pribadi seperti KTP atau KK harus disediakan langsung oleh pemohon.
“Tentunya, bilamana permohonan dikuasakan, maka perlu dilampirkan surat kuasa, KTP/KK penerima kuasa, serta akta pendirian dan pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM dan bila tidak berbadan hukum tidak akan diproses, ” jelasnya.
Ia juga menyebut bahwa surat keterangan tanah bukan pangangonan dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat sudah tersedia, karena hasil koordinasi antara BPN, pemerintah daerah, pihak desa, dan didampingi anggota dewan yang telah diberi surat tugas dari Komisi 1 untuk mengawal proses ini.
Namun sejalannya waktu sampai saat ini masih ada kekurangan dokumen dari pihak desa Guranteng berupa surat keterangan bukan aset desa dan surat keterangan riwayat tanah itu dari Desa Guranteng belum,” katanya.
Pihaknya mengaku tidak mengetahui alasan belum dilengkapinya dokumen tersebut. Pihak BPN hanya berperan sebagai fasilitator dan telah membantu menyiapkan serta mengonsep sejumlah dokumen.
Ia juga menegaskan pentingnya kelengkapan surat dari desa, mengingat tanah yang dimaksud adalah lokasi relokasi bencana yang artinya mereka itu adalah masyarakat yang terkena bencana.
Menurutnya, tanah pangangonan bukan sembarang tanah yang bisa dialihkan, sebab statusnya merupakan tanah negara yang diperuntukkan untuk penggembalaan dan dikelola oleh desa.
“Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian menyeluruh terkait asal-usul bencana, jumlah korban, luas area terdampak, hingga jumlah properti yang rusak, Karena data pemohon masyarakat yang saat ini ada di lokasi pengganti,” ungkapnya.
Validasi juga menjadi bagian penting dalam proses ini. BPN perlu mengetahui hubungan antara warga yang tinggal di lokasi pengganti dengan korban bencana di lokasi asal.
Kalaupun sekarang menjadi 85 kepala keluarga itu, tidak menjadi masalah. Tinggal nanti adakah hubungan hukum, misal mereka ini ahli warisnya atau seperti apa,” jelasnya.
Ia menekankan, jika tidak ada hubungan hukum yang jelas, pemberian sertifikat bisa menimbulkan masalah hukum ke depan. Oleh karena itu, diperlukan surat keterangan kejadian bencana dari instansi berwenang yakni pemda, ” ujarnya.
“Bilamana dua dokumen tersebut tersedia, barulah Bupati bisa menetapkan subjek dan objek tanah untuk selanjutnya diproses sertifikatnya oleh BPN,” pungkasnya. (M.Kris)