Kolonialisme Hancurkan Seni Tari di Indonesia, Ini Penjelasan Mantan Rektor ISBI Een Herdiana  

DEPOSTJABAR.COM, (BANDUNG).- Kolonialisme hancurkan seni tari di Indonesia, giat kesenian yang berasal dari warisan luhur budaya bangsa. Giat, yang saat itu banyak dilakoni wanita, baik yang berasal dari masyarakat maupun kalangan menak.

“Tari Ronggeng, dikonotasikan hanya kesenian rendahan, pemuas hasrat sesaat,” kata Rektor Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung periode 2014-2022 Prof Dr Hj Een Herdiana.

Sarjana Prodi Seni Tari alumni 1992 Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta mengatakan, tari ronggeng adalah induk dari seni tari di Indonesia, kesenian itu ada sejak era animisme dan dinamisme, hindu budha, islam, jaman penjajahan, Indonesia merdeka, dan bertahan hingga saat ini.

Di Era kolonialisme, citra baik dari seni tari itu, yang telah melahirkan banyak cabang-cabang seni tari lain, baik berwujud ucapan syukuran bumi hingga wujud duka hancur.

“Tari ronggeng direndahkan,” katanya.

Hingga akhirnya muncul Raden Sambas Wirakusumah, dia membuat atau menciptakan Tari Keurseus (tari kursus), tarian yang berasal dari Jawa Barat. Kembangan dari Tayuban.

“Agar bisa dipelajari di sekolah-sekolah, maka Raden Sambas membuat tari Keurseus. Tarian yang disusun atau dijadikan patokan,” katanya.

Di era 1920-an itulah, tarian yang dilakukan oleh lelaki sangat digemari. Salah satunya Tari Budaya Wirahmasari, yang juga diciptakan oleh Raden Sambas.

Pada era kemerdekaan Jawa Barat kembali lahir tokoh tari lainnya, kali ini adalah Raden Tjetje Sumantri. Pelopor tari kreasi Sunda. Saat inilah, wanita kembali terlibat di seni tari.

“Embrio tarinya diciptakan pada tahun 40-an. Tetapi lebih populer setelah Indonesia merdeka,” katanya.

Tari-tarian yang diciptakan Raden Tjetje Sumantri selalu disajikan di Istana Negara. Presiden RI Pertama Soekarno sangat tertarik dengan karya-karyanya.

“Karya-karya Tjetje Sumantri memang diciptakan untuk wanita. Karena sebelumnya, di Jawa Barat, perempuan dianggap tabu untuk menari,” terangnya.

“Imbas dari tari ronggeng yang dinilai jelek pada masa kolonial, sehingga banyak kalangan menak yang tidak mau anak-anaknya menjadi penari,” katanya.

Tari kreasi Sunda yang diciptakan Raden Tjetje Sumantri adalah tari Sekar Putri, Tari Merak, Tari Kupu-kupu, Tari Sulintang, Tari Koncoran, Tari Topeng Priangan yang sumbernya dari Cirebon.

“Banyak sekali tari-tarian yang diciptakan pak Tjetje Sumantri, oleh karenanya banyak para menaik yang ingin anak perempuannya belajar menari, terlebih menari di Istana,” katanya.

Saat itulah, masyarakat beranggapan Tari-tarian ciptaan Tjetje Sumantri adalah tarian yang klasik.

“Kenapa disebut tarian klasik, karena sumber tari-tarian itu berasal dari kalangan menak,” terangnya.

Padahal kalau dilihat dari sumber-sumbernya tarian tarian itu, adalah tarian yang hidup di kalangan istana.

“Tak apa, kita tidak perlu membenturkan itu, tarian klasik atau bukan ya,” ujarnya.

Yang pasti dengan adanya karya-karya Tjetje Sumantri citra penari perempuan menjadi terangkat lagi, bahkan kalau ada kunjungan-kunjungan Presiden tarian-tarian Tjetje Sumantri selalu ada.

Setelah era Tjetje Sumantri, muncul kembali pembaharu atau kreator terakhir di tanah Sunda. Dia adalah Gugum Gumbira Tirasondjaja. Yang menciptakan Tari Jaipongan.

“Tari Jaipongan sumbernya dari Ketuk Tilu, dari seni rakyat yang ada di Jawa Barat, dari pencak silat,” katanya.

Gugum Gumbira, kata Prof Een membuat tari Jaipongan menjadi seni pertunjukan.

“Akarnya kan dari tarian rakyat, tarian yang bareng-bareng, berpasangan, dan mungkin ada etika-etika yang dianggap kurang baik, tetapi oleh Gugum Gumbira diangkat menjadi seni pertunjukkan seni rakyat yang punya nilai tinggi,” katanya.

“Kalau saya melihat kenapa tari Jaipogan ini menjadi menyebar dan disukai oleh masyarakat karena dianggap inilah tarian kita, inilah sumber kita, budaya kita, budaya rakyat,” terangnya.

Kolonialisme di satu sisi memang jelek, terutama  terkait unsur politiknya, di luar unsur itu baik, pada era kolonialisme itulah kesenian naik kelas dipertunjukkan di gedung-gedung mewah, penonton yang berkelas, lengkap dengan tata panggung, sound sistem yang baik.(Ries)