Puasa Waktu Kecil: Kepala SMAN 1 Maja Malam Likuran yang tak Pernah Terlupakan

DEPOSTJABAR.COM (MAJALENGKA).- Tak akan habis bila kita bercerita tentang masa kecil dulu yang penuh warna dan kebahagiaan, terlebih saat cerita tentang pertama kali belajar berpuasa pada masa kecil di bulan Ramadan, bulan yang penuh berkah yang selalu ditunggu tunggu oleh anak anak muslim di seluruh dunia.

Ramadan selalu punya cerita di setiap tahunnya. Seiring bertambahnya angka usia dan berkurangnya jatah usia. Mulai dari Ramadan masa kecil dengan segala drama menghiburnya, menuju remaja dengan kisah masa pubertasnya, dan pencarian jati diri hingga pada masa pendewasaan di mana tanggung jawab akan diri tidak lagi dibebankan pada kedua orang tua dan keluarga.

Lalu usia berapa kita mulai full berpuasa? Pasti Berbeda – beda. Dan pengalaman puasa pertama akan menjadi kenangan yang berkesan.

“We didn’t realize we were making memories, we just knew we were having fun”, begitu katanya.

Termasuk kenangan kecil saat Ramadan, yang kita tahu dulu sewaktu kecil kita hanya bersenang – senang, dan ternyata hal itu yang kita rindukan sekarang saat dewasa. Sebagian besar diantara kita pasti ada yang pernah mengalami kenangan tersebut

Begitupun dengan Rostiyana (57) yang sekarang menjabat Kepala Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Maja Kabupaten Majalengka. Ia memiliki kenangan yang sangat manis saat bulan suci Ramadan diwaktu usia belianya. Kejadian itu, selalu menyeruak dalam ingatannya ketika memasuki bulan puasa. “Terkadang Aku suka tersenyum sendiri saat mengingat kejadian tersebut”, kata Rostiyana sambil tersenyum mengenang masa kecilnya.

Ia bercerita. Dahulu, saat dipenghujung bulan ramadan sekitar sepuluh hari menjelang Lebaran, sudah menjadi tradisi masyarakat diperkampungan khususnya di Jawa Barat ada istilah “mamaleman” yang dilaksanakan pada malam malam ganjil atau malam likuran di bulan puasa.

Setiap malam ganjil atau malam likuran( hari ke : 21,23,25,27 dan 29 puasa) tersebut. Masyarakat biasanya beramai ramai membawa makanan ke mesjid, baik makanan ringan ataupun makanan berat seperti nasi dan lauk pauknya, untuk dibagikan lagi kepada warga dengan harapan mendapat pahala yang besar dari Allah di bulan penuh berkah.

Makanan tersebut mereka bawa setelah selesai salat tarawih. Dipastikan pada malam likuran atau 5 hari di tanggal ganjil tersebut, masjid ramai oleh anak anak yang berharap berkah ramadan dengan mendapatkan makanan. Pada waktu itu, usiaku masih berumur 6 tahunan.

Seperti biasanya, sehabis berbuka puasa aku langsung pergi ke masjid, karena tahu, hari itu adalah malam lima likur (malam ke-25 hari ) puasa, pasti di masjid kampungku akan banyak makanan, dan ternyata benar, di masjid sudah banyak ibu ibu yang membawa nasi lengkap dengan lauk pauknya, ada telur, tempe, tahu, bihun, ikan bahkan sayur buncis. Semua makanan itu siap dibagikan usai salat tarawih.

Selain saya, di masjid sudah banyak anak anak seusia saya yang sama sama menunggu dan berharap untuk mendapatkan makanan tersebut. Sambil menunggu dibagikannya makanan oleh pengurus masjid, kami dengan sabar menunaikan dulu salat  tarawih berjamah dengan para orang tua. Usai tarawih, kami langsung disuruh berkumpul di sudut masjid untuk menerima pembagian nasi tersebut. Setelah dapat ada yang langsung dimakan di situ dan ada pula yang dibawa pulang.

Pada masa itu masih sangat sederhana  tidak seperti sekarang, untuk alas nasi masih pakai daun pisang, dan saya saat itu teringat sama ibuku, jatah makanan yang diterima rencananya akan dibawa pulang dan dimakan bersama ibu. Sudah terbayang dalam pikiranku betapa bahagianya aku saat bisa makan bersama ibu hasil perjuangan ku di masjid. Namun sayang apa yang dibayangkan tidak sama persis apa yang diharapkan.

Saat itu, karena kepolosan ku, nasi yang sudah didapat dari pengurus masjid aku bungkus dengan sarung yang dilapisi daun pisang. Masing masing bagian ujung kain sarung, ku ikat menyilang dan ditengahnya aku simpan daun pisang untuk alas nasi, baru setelah diisi nasi dan lauk pauknya, sarung yang sudah ada isinya tersebut aku bawa pulang bersama teman teman. Diperjalanan, kami asik ngobrol, bercerita tentang apa yang telah didapat di masjid tadi.

Karena waktu itu belum ada penerangan listrik, sehingga jalan menuju rumah terasa gelap gulita, hanya temaram dari cahaya bintang yang menyinari jalan itu. Tak disadari, rupanya makanan yang aku bawa dalam sarung berjatuhan sepanjang jalan.

 Sesampai di rumah betapa terkejutnya aku ketika mendapati sarung yang aku bawa sudah tidak ada lagi isinya, tinggal daun pisang yang masih tersisa didalam sarungku. Sontak saat itu aku langsung menangis sedih karena apa yang diharapkan tidak keaampaian. aku tidak bisa menikmati makanan yang aku dapat dari masjid bersama ibu.

Untungnya, ayah pulang belakangan dan membawa makanan dari masjid tersebut, untuk dimakan bersama, sehingga kesedihan ku sedikit terobati karena bisa menikmati makanan dari masjid tersebut. “Saya tak penasaran lagi, bagaimana rasanya makanan yang dibawa dari masjid itu,” pungkas Rostyana sambil tersenyum simpul mengakhiri ceritanya. (Ast)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *