Remco Raben : Bangsa, Daerah dan Ambiguitas Modernitas di Indonesia Tahun 1950

Disarikan  Oleh : Ali Akbar Suherlan (Mahasiswa SPI UIN Sunan Gunung Djati Bandung)

DAYA lenting identitas daerah merupakan bagian yang esensial dalam tatanan politik dan sosial di Indonesia, kendati sudah berlangsung 60 tahun proses pembangunan bangsa dan pembentukan negara. Kemerdekaan dan unifikasi politik Indonesia yang tercapai pada tahun 1950 menimbulkan ketakutan dikalangan elite, pengusaha, dan cendekiawan akan terjadinya Jawanisasi dan eksploitasi keuangan oleh negara pusat, dan hilangnya kekuasaan dan tradisi lokal.

Pada akhir tahun 1950-an, retorika politik mengartikan daerah sebagai bagian wilayah kepulauan yang menentang kekuasaan pemerintah pusat—khususnya daerah-daerah yang terlibat dalam pemberontakan Permesta dan PRRI yang meletus di Sulawesi bulan Maret 1957 dan di Sumatera Barat setahun kemudian. Ditinjau dari sudut administratif, daerah merupakan sub divisi negara, apakah bentuknya provinsi, kabupaten, atau sisa-sisa wilayah berpemerintahan sendiri di bawah pemerintah kolonial, swatantra atau swapraja.

Posisi ambigu daerah-daerah menjadi masalah pokok dalam pembentukan negara-bangsa Indonesia. Kendati ada dorongan kuat untuk mengutamakan kesatuan dan bangsa, perspektif-perspektif daerah cukup dominan di tahun 1950-an, bahkan di tengah mereka yang berjuang untuk revolusi di tempat-tempat lain di Indonesia, dan bahkan di antara anggota-anggota terkemuka partai-partai nasional.

Arus ke Provinsi dan Problem Identitas Teritorial

Pemberontakan-pemberontakan tahun 1950-an hanya merupakan satu contoh bagaimana kepentingan daerah diartikulasikan di tengah suasana politik dan ekonomi negara-bangsa baru yang sedang mengalami perubahan. Dalam kebanyakan waktu dan kebanyakan kasus, rasa takut dan rasa frustrasi menemukan saluran-saluran yang lain. Satu elemen yang umum dalam manifestasi sentimen-sentimen daerah itu adalah usaha untuk merumuskan perbatasan baru provinsi dan kabupaten. Pembentukan negara mendorong berlakunya pembuatan perbatasan, yang melibatkan keputusan strategis di pusat maupun desakan dari daerah.

Tahun 1950, pemerintah pusat telah menciptakan sepuluh provinsi yang didasarkan semata-mata pada pemikiran geografis, tanpa ada hubungan dengan identitas daerah. Semua itu dianggap telah menjadi bagian masa lalu, dan yang harus dihindari oleh para pembangun negara-bangsa yang modern adalah menyerah pada sukuisme (jingoisme etnis).

Persiapan administratif, dan terutama lambatnya pemerintah menyempurnakan undang-undang desentralisasi yang telah diumumkannya akhir tahun 1940-an, diterima di daerah-daerah dengan usaha-usaha untuk menteritorialkan identitas daerah.

Oleh karena itu, di samping adanya antusiasme yang luas terhadap kemerdekaan nasional dan negara-bangsa Indonesia, di tahun 1950-an berlangsung juga perjuangan untuk memperoleh suatu bentuk otonomi. Usaha ini bisa dipandang sebagai kelanjutan negara-negara federal akhir tahun 1940-an dengan cara-cara yang lain, dan sebagian dengan pemimpin-pemimpin yang lain. Struktur federal yang dibangun oleh Belanda di luar wilayah Republik telah menghasilkan pembentukan 16 ’negara’ yang nantinya menjadi negara Republik Indonesia Serikat.

Menurut uraian-uraian yang baku, pembubaran negara federal itu hanya mendapat perlawanan yang tidak berarti, bahkan juga dari kaum bangsawan daerah yang paling khawatir terhadap unifikasi nasional.

Kekurangan pokok federalisme ialah bahwa federalisme merupakan produk kekuasaan kolonial yang sedang mundur, karenanya terlalu terkontaminasi oleh kedekatannya dengan kebijakan Belanda.

Kaum elite daerah telah meletakkan taruhannya dan telah memilih jalan yang paling menjanjikan karena ada cara-cara lain untuk memperoleh otonomi bagi daerah. Yang meyakinkan bagi para pemimpin daerah ialah bahwa baik perundang-undangan Republik Indonesia maupun Undang-Undang Dasar secara eksplisit mengandung pasal-pasal mengenai masalah itu.

Lobi-lobi dilakukan lewat para anggota parlemen, wakil-wakil lokal dalam partai-partai politik nasional, dan yang lebih disukai adalah lewat kunjungan dan permohonan kepada presiden.

Dalam beberapa hal, pengalaman historis dan permusuhan yang sudah berjalan lama menjadi penyebab tuntutan untuk dipisahkan dari suatu provinsi atau kabupaten.

Sama halnya dengan penduduk Tapanuli yang dominan beragama Kristen dan yang memandang adanya beberapa keuntungan untuk dimasukkan dalam Provinsi Sumatera Utara.

Perjuangan untuk memperoleh otonomi provinsi yang lebih luas berlangsung terus sesudah kebanyakan pemberontakan ditindas akhir tahun 1950-an dan awal tahun 1960-an.

Dalam banyak hal, respons positif Jakarta terhadap tuntutan ini bisa dirumuskan dengan istilah strategi divide et impera yang sadar. Pembentukan provinsi dan kabupaten yang baru seringkali merupakan usaha yang sukses dari pemerintah pusat untuk memadamkan keresahan lokal dan daerah. Pada waktu daerah-daerah dan provinsi-provinsi dibentuk dan dimekarkan, kehadiran negara pusat di daerah-daerah itu meningkat dalam bentuk birokrasi, tentara, dan penyebaran lambang-lambang dan upacara-upacara yang mewakili negara-bangsa kesatuan. Namun demikian, pembentukan provinsi dan kabupaten yang baru dan lebih kecil tidak menghilangkan kecemburuan antardaerah.

Di Sulawesi Tenggara, persaingan yang sudah lama berlangsung antara Buton dan Kendari berlanjut sesudah diresmikannya Provinsi Sulawesi Tenggara. Tahun 1970 saja, ’Presidium perjuangan untuk pembentukan Provinsi Belitung’ telah melakukan lobi yang kuat namun akhirnya tidak sukses untuk memisahkan Kabupaten Bangka-Belitung dari Sumatera Selatan.

Politik Modern dan Kelemahan Masyarakat Madani

Para pembangun negara modernis di Jakarta mencap sentimen-sentimen daerah sebagai atavisme yang telah ketinggalan zaman. Namun kenyataannya, orang-orang di provinsi itu sama juga peduli terhadap gagasan tentang pembaruan dan modernitas sebagaimana mereka yang ada di pusat. Tahun 1950-an adalah tahun-tahun yang diresapi retorika ’modern’. Apa pun kandungan yang tepat dari istilah modernitas itu, dengan datangnya kemerdekaan secara umum dirasakan bahwa era baru telah lahir di Indonesia.

Suatu kesadaran mengenai perlunya membangun sebuah masyarakat yang baru meresapi semua lapisan politik dan intelektual masyarakat Indonesia.

Di tempat lain di Indonesia, perdebatan publik sering berpusat pada gagasan tentang yang modern. Topik-topiknya mencakup bentuk demokrasi yang benar, masalah apakah nilai-nilai ’Barat’ bisa diterapkan di Indonesia, tapi juga kedudukan perempuan, cara berpakaian yang tepat, seksualitas, dan kesehatan. Jelaslah, perubahan-perubahan dan peluang-peluang mendadak di tengah negara-bangsa yang baru telah mengajak para cendekiawan, seperti ditulis oleh surat kabar di Makassar, ’untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman’.

Kebebasan pers dan kebebasan berorganisasi telah mendorong orang untuk mengantisipasi masa depan yang lebih baik. Dalam beberapa hal, organisasi-organisasi itu mewakili masyarakat madani yang mulai lahir.

Bahkan di daerah-daerah seperti Sumatera Barat dan Tengah, yang penyebaran organisasinya sangat luas, posisi tawar-menawarnya terhadap pemerintah pusat sangat terbatas.

Kebanyakan organisasi dalam banyak hal terkait dengan partai-partai politik nasional, membentuk apa yang dinamakan aliran atau organisasi bersendi di lingkungan publik.

Pemilihan itu mengilustrasikan dinamika di daerah-daerah tempat baik kaum bangsawan lama maupun orang-orang baru mampu ’menyesuaikan diri secara kreatif’ dengan tantangan-tantangan yang baru.

Kaum Elite, Politik Baru, dan Mobilisasi Etnis

Di kebanyakan daerah, kaum bangsawan lokal yang telah berhasil memperoleh kedudukan kukuh di bawah pemerintahan tak langsung Belanda, berhasil tetap berkuasa.

Di wilayah-wilayah yang beraneka etnisnya, seperti Sulawesi Selatan dan Tenggara, perpecahan politik sering berdasarkan keyakinan etnis. Migrasi massal tahun 1970-an dan 1980-an baru akan terjadi dan akan menyebabkan terjadinya persaingan antaretnis dan konflik urban berbasis kelas, yang menjadi ciri tahun-tahun belakangan.

Frustrasi yang pokok dipicu oleh akan berdominasinya para pejabat dari Jawa atau dari daerah daerah tetangga, meningkatnya kekhawatiran terhadap aturan perpajakan dan inefisiensi, juga korupsi di pihak pemerintah pusat.

Yang menonjol ialah kekhawatiran akan kemungkinan didominasi oleh orang dari daerah-daerah lain. Seringkali mereka itu adalah orang Jawa, tetapi di daerah yang rumit tata etnis dan politiknya, seperti Sulawesi Selatan dan Tenggara, persaingan lokal merupakan faktor yang penting.

Perubahan-perubahan politik yang luas di tahun 1940-an dan 1950-an menyebabkan terjadinya identifikasi kuat di daerah, terutama di kalangan elite.

Hal ini memicu usaha yang kuat untuk memikirkan penyusunan perbatasan. Realitas negara Indonesia yang baru mendorong rakyat untuk mendefinisikan tanah asal mereka dalam kerangka administratif-geografis.

Bekas negara kolonial telah mengalami juga masalah ini, dan dorongan ke arah itu diperkuat oleh pengalaman-pengalaman dengan federalisme dan janji-janji yang tertera dalam konstitusi.

Kalau diamati peristiwa-peristiwa tahun 1950-an, maka polarisasi yang sering terulang antara ’bangsa’ lawan ’daerah’ dan ’modern’ lawan ’tradisi’ itu cepat menguap. Namun, apa pun ketidakpuasannya, negara telah meninggalkan tanda yang tak terhapuskan pada pikiran rakyat.

Bagi kebanyakan orang Indonesia, separatisme bukan alternatif yang bisa diandalkan. Masalah intinya bukan pilihan antara bangsa dan daerah, melainkan perhubungan antara keduanya.

Epilog

Budaya daerah yang terkodifikasi ini di tingkat nasional ditampilkan oleh taman tematis seperti di Taman Mini yang terkenal di Jakarta. Secara lokal, budaya ’tradisional’ dipindahkan ke pertunjukan publik dan pagelaran etnis yang bersanksi politik. Sekalipun ’budaya nasional’ tetap asing dan bahkan bertentangan dengan banyak daerah, ritualisasi budaya lokal telah terbukti merupakan taktik yang berhasil. Yang dapat dicermati, negara telah memicu perebutan kepentingan ekonomi oleh kaum elite di daerah melalui kebijakan desentralisasi.

Baik pertumbuhan kota maupun pembangunan industri yang dipimpin negara, demikian juga kebijakan transmigrasi yang luas selama dasawarsa-dasawarsa terakhir, telah menciptakan potensi konflik etnis. Ketegangan-ketegangan yang diakibatkan oleh bermukimnya sejumlah besar ’orang asing’ telah menyebabkan terjadinya kembali benturan-benturan etnis dalam dasawarsa terakhir. Ketegangan-ketegangan itu diperburuk oleh instabilitas negara pusat dan merosotnya kekuasaan belakangan ini di bawah undang-udang otonomi yang terjadi baru-baru ini, yang menimbulkan nasionalisme daerah dan persaingan antaretnis.

Namun yang tetap bertahan adalah tiadanya identitas politik yang jelas dan masalah kedaulatan rakyat yang belum terpecahkan . Banyak energi dibuang untuk membicarakan perbatasan, tanah asal, dan komunitas etnis, tapi kekurangan utama adalah tiadanya tatanan institusional yang demokratis. Tahun 1950-an, kegagalan menciptakan komunitas politik lokal menyebabkan ketidakpuasan daerah, yang diungkapkan dengan berbagai cara yang tak terhitung mulai dari menggerutu sampai menembak, tetapi juga menciptakan peluang bagi para pembesar lokal untuk melampiaskan sentimen-sentimen lokal demi memuaskan keserakahan mereka. Sekarang pun aktor-aktor utama proses desentralisasi belakangan ini adalah para pemimpin dan birokrat lokal. Baru di tahun 2004 parlemen menerima undang-undang yang memungkinkan rakyat memilih pemerintahan sendiri. Ini bisa saja menjadi batu loncatan menuju daerahisme yang mantap. ***