“Wet ring nang etan, tata watu sebelah kidul, bukak’en isine (ada sebuah pohon beringin di di timur tempat ini, cari sebuah batu tertata lalu buka isinya).”
Dela berdiri, membuka pintu, lalu menutupnya lagi. Sri yang masih terjebak dalam ketakutannya, perlahan berdiri. Melihat Dela yang kembali tidur, tidak lupa ia menutup kerandanya lalu ke kamar.
Pagi itu, seperti biasanya. Dini dan Erna sibuk dengan kegiatannya sendiri. Sementara Sri, ia pamit untuk menghabiskan waktu di kamar. Sri mengaku badannya tidak enak. Namun yang sebenarnya terjadi, Sri melangkah pergi menutu tempat yang ia dengar dari sosok yang ia temui semalam.
Dari jauh, pohon itu tumbuh sendiri di antara semak belukar di sekitarnya. Ada tanah lapang yang terbuka, seakan pohon itu dibiarkan menyendiri. Begitu kelam, begitu menyeramkan. Anehnya, Sri malah mendekatinya, seakan hantinya menuntun memanggil namanya. Ia harus melakukannya.
Meski cahaya matahari sudah terang benderang, namun di bawah pohon ini, seakan cahaya itu bisa menyentuhnya. Rimbunnya pohon beringin ini, menciutkan nyali siapapun yang ada di sekelilingnya.
Sri menemukan sebuah kuburan, dengan batu nisan bertuliskan sebuah nama yang familiar…
“Dela Atmojo”
Butuh waktu untuk memproses informasi itu. Namun, Sri mencoba menolak pikiran itu, “Dela sudah meninggalkah?” batin Sri terguncang. Ia kini tersesat di dalam pikirannya sendiri.