Kisah Pilu Nani Suwartiyani PMI  Asal Majalengka yang Terpaksa Pulang karena Perang Sudan

DEPOSTJABAR.COM (MAJALENGKA).-  Perang saudara yang terjadi di Negara Sudan telah memaksa ratusan Pekerja Migran  Indonesia (PMI) yang bekerja di negeri tersebut pulang ke tanah air. Mereka dievakuasi pemerintah bersama para WNI lainnya dengan menggunakan pesawat TNI Angkatan Udara.

Salah satu PMI yang ikut dievakuasi pada Sabtu 29 April lalu adalah Nani Suwartiyani (51) warga RT 03/01, Gang Keramat, Jl.Suma, Kelurahan Majalengka Wetan, Kecamatan Majalengka, Kabupaten Majalengka yang sudah 15 tahun menjadi TKI di Sudan.

Saat pulang, Nani dalam kondisi sakit akibat bus yang membawanya bersama 44 orang lainnya dari pengungsian ke Konsulat RI  terguling ke jurang. Namun dia mengaku bersyukur walaupun kini sulit berjalan karena yang dideritanya tidak separah pekerja migran asal Indonesia lainnya yang lukanya lebih serius hingga harus menjalani perawatan di Rumah Sakit.

“Pinggang serta telinga saya sakit terbentur karena bus yang kami tumpangi masuk jurang, sekarang sulit berjalan malah mengangkat badan untuk berdiri saja kesakitan,” katanya saat ditemui di rumahnya beberapa waktu lalu.

Kepulangannya ke Indonesia, Ia tidak membawa apapun selain pakaian dan dokumen keimigrasian yang terus dibawanya didalam tas selendang, sedangkan uang dan barang berharga lainnya hancur.

Selama berbulan-bulan dia bersama warga Indonesia lain serta tenaga kerja asal Filipina, Bangkadesh mengungsi ke pedalaman di Soba dan Mayo berjarak sekitar 20 km dari kota tempatnya bekerja. Karena konflik yang terus menerus, hingga akhirnya  KBRI di Khartoun, Sudan, mengevakuasi warga negara RI.

“Saya bersyukur kondisi badan lebih baik dibanding teman-teman asal Indramayu misalnya atau asal Sulawesi yang kondisinya lebih memprihatinkan. Dokumen pribadi juga terselamatkan karena terus dipegang, sedangkan teman saya dari Bayureja, Kecamatan Sukahaji, Majalengka, hilang saat mobil terjun ke jurang,” ungkapnya.

Menurut Nani, saat itu situasi disana sudah tidak aman, hampir tiap menit dentuman peluru dan meriam terus terjadi akibat konflik.

“Sebelumnya demo memang biasa terjadi setiap hari Rabu seolah sudah terjadwal, namun awal-awal hanya semburan gas air mata untuk membubarkan aksi, Lama kelamaan aksi menjadi pecah perang bersaudara, hingga negara tidak aman. Padahal ketika datang ke sana 10 tahun lalu negara aman dan ramah,” paparnya.

 10 Taun di Sudan

Nani sendiri bekerja di Sudan tanpa sengaja karena dijual majikannya. Dia semula menjadi pekerja migran di Arab Saudi selama 5 tahun, namun karena majikan laki-lakinya Abdullah meninggal dunia, akhirnya majikan perempuannya Fatma membawa Nani ke Sudan karena dia berasal dari Negara Sudan.

Di Sudan Fatma tidak memiliki pekerjaan tetap sehingga majikannya tersebut meminta Nani untuk bekerja di temannya yang ternyata dijual dengan alasan tidak punya uang. Di majikan baru itu Nani bekerja sebagai tukang bersih-bersih rumah, hanya dia jarang diberi makan bahkan  gaji selama satu setengah tahun bekerja juga tidak dibayar.

“Majikan ini sadis, makanan bekas anjing baru diberikan untuk dimakan. Tidak diperbolehkan memegang HP, dan HP yang dianwa dari Arab Saudi dirampas,” ungkapnya.

Suatu saat ketika membersihkan perabotan rumah tangga tanpa sengaja dia menyenggol guci yang katanya berharga mahal karena dibeli dari USA, guci tersebut pecah. Majikannya marah bukan main hingga akhirnya rambut Nani dijambak diseret dan dikurung di lantai lima serta tangannya kirinya dilukai dengan senjata tajam, kedua jari kelingkingnya dipatahkan hingga kondisi jarinya kini bingkeng.

Selama seminggu di kurung, akhirnya dia mendapat pertolongan dari sesama pekerja asal India yang membawanya ke luar rumah ketika majikannya pergi.

“Saya dibawa ke jalan diminta untuk kabur karena di rumah disiksa. Saya dibekali uang 5 pound Sudan, dijalan raya saya terus memohon pertolongan sebisa mungkin dalam kondisi baju dan selendang bersimbah darah. Semua orang di sana menganggap saya orang gila hingga kemudian saya ditemukan orang Eropa dan membawa saya ke Kedutaan RI,” ungkap Nani.

Di kedutaan didiobati hingga sembuh, setelah itu orang kedutaanpun memperjuangkan untuk mendapatkan gaji yang belum dibayar namun tidak berhasil, alasan majikan Nani dianggap melarikan diri dan mencuri barang.

Setelah itu pihak KBRI memberikan dua pilihan, pulang atau tetap bekerja. Nani pun memilih untuk tetap bekerja di Sudan dengan alasan masih ada yang harus diperjuangkan untuk keluarganya di Majalengka.

Setelah  itu Nani bekerja sebagai pembersih toilet di Bandara, di sana disiapkan mes  untuk tinggal serta makan sehari-hari. Kurang lebih tiga bulan bekerja di Airport, setelah itu dia minta tolong kenalannya untuk dicarikan pekerjaan yang lebih baik agar penghasilannya lebih baik.

“Saya bekerja di rumahan seperti sebelumnya hingga akhirnya sebulan bekerja bisa membeli HP baru dan bisa berkomunikasi dengan keluarga di Majalengka setelah bertahun-tahun hilang kontak.” ungkap Nani.

Disanapun dia tidak lama karena ada temannya asal Bangladesh yang memasukannya bekerja di sebuah perusahaan susu sebagai tukang masak dengan mengubah identitas menjadi nama Nandini agar lebih aman, karena dianggap pekerja ilegal.

 “Akhirnya saya mengganti nama jadi Nandini, saya bekerja di perusahaan susu sebagai koki dengan anak buah sebanyak 20 orang berasal dari Ethofia, Libya dan Sudan, di sana di gaji 500 USD, diberi mes. Diperusahaan ini saya dipercaya hingga kunci gudang dipercayakan untuk dipegang saya,” ungkapnya.

Selama berahun-tahun bekerja, namun Nani memilih mengundurkan diri karena beberapa anak buahnya bersekongkol kerap  melakukan pencurian.

“Ketika mengundurkan diri pimpinannya memohon untuk tetap bekerja, dia mempercayai penuh. Namun saya tidak nyaman bekerja dengan mereka yang tidak jujur,” ungkap Nani.

Nani akhirnya memutuskan untuk bekerja sebagai tukang masak rumahan, mendapat panggilan masak dari berbagai acara  rapat atau acara keluarga. Namun katanya karena bekerja sebagai pekerja ilegal Nani sering kena tangkap polisi setempat dan dipenjarakan di penjara bawah tanah.

“Setelah dipenjara, kembali masuk penjara. Belakanga polisi yang menangkap itu-itu juga dan akhirnya polisi yang menangkap langsung disogok, uang hasil kerja terus dipake menyuap menghindari masuk penjara,” demikian kata Nani.

Meski begitu dia mengaku tetap bisa mengirimi uang kepada keluarganya secara rutin.

Kini dia sudah berkumpul dengan keluarganya yang sudah berpisah selama 15 tahun, tiga anaknya telah menikah, satu anak bungsu yang saat itu ditinggal ketika usia sekitar satu tahunan kini sudah duduk dibangku SMP dan sebentar lagi masuk SLTA. Anak-anak yang telah menikah semua sudah dibangunkan rumah hasil jerih payahnya di negeri orang.(ast)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 komentar

  1. This was a fantastic read! The author did an excellent job presenting the information in an engaging way. I’m eager to hear different viewpoints on this. Check out my profile for more discussions.