Bagian 19, Kerajaan Demit di Pabrik Gula Terbengkalai

Mas Fadhil juga tidak tahu, tidak ada energy negative pada diri kakek-kakek itu. Di tanyalah sama mas Fadhil, “Panjenengan griyane pundi pak, ngaunten kulo mboten gadah niat ganggu” (anda rumahnya dimana pak, mohon maaf tidak ada maksud menganggu saya)

Si kakek menunjuk pohon gede. Disinilah, si kakek menjelaskan segalanya. Rupanya, sang kakek tertarik dengan mas Fadhil, ia adalah seorang yang berilmu, karena ia mempelajari kebatinan sejak kecil.

Namun, perlu di garis bawahi. Bahwa, semua penunggu disini, ada yang sangat membenci orang seperti mas Fadhil.

Yang jadi masalah adalah, yang benci dengan orang berilmu kebatinan ini adalah para panglima dari kerajaan demit ini. mas Fadhil langsung tahu maksud kakek itu. “lalu harus bagaimana saya mba?” tanya mas Fadhil.

Si kakek hanya menasehati, ada beberapa titik dimana mas Fadhil tidak boleh sering-sering kesana, termasuk titik dimana ia tidur sekarang.

Tempat itu rupanya adalah tempat singgah si panglima dan panglimanya sendiri adalah 6 macan putih. Namun, saat ini, mereka hanya megamati.

Mas Anton yang mendengar itu bingung, ia tidak tahu lagi harus bagaimana. Jarak Semarang dan tempat ini cukup jauh dan sungguh hal yang memalukan bila ia harus pulang padahal belym juga mendapat gaji pertamanya.

Ini lah maksud kalimat pak Edi. “Semoga betah ya”

Mas Fadhil menenangkan mas Anton bahwa mereka tidak akan menganggu atau mencelakai bila kita tidak mencari gara-gara terlebih dahulu. terkecuali yang memang jahil, mereka jahil hanya untuk mencari perhatian, bila dibiarkan, mereka akan capek sendiri.

 Bersambung… (Bersumber dari Twitter @simplem81378523 / PARISAINI R ZIDANIA)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *