Kisah Sewu Dino, Bagian 3

Seperti sebelumnya, mereka dipanggil satu persatu. Tibalah giliran Sri.  Kali ini ia melihat semua anggota keluarga Mbah Krasa. Ada 7 orang.  Semuanya duduk memandang Sri seperti sebelumnya.  Mengamati Sri dari ujung kepala hingga kaki.

“Ngeten mbak, kulo bade tandet, sampean putun, nyambut ten mriki, soale, onok pantangan’e, nak sampeyan purun, pantangane rai so di cabut maneh (begini mbak, saya mau tanya dulu, anda setuju bekerja disini, karena ada larangan keras bila anda sudah menerimanya, larangannya tidak bisa dicabut),” kata seorang wanita yang lebih muda, umurnya sekitar 30 tahunan.

“Larangan nopo nggih mbak? (Larangan seperti apa?),” Sri melihat gelagat aneh.  Mereka saling memandang satu sama lain, seakan pertanyaan Sri tidak perlu mereka jawab.

Mbah Krasa berdiri dari tempatnya. Ia berbisik kepada Sri, “Uripmu bakal dijamin, nek awakmu gelem ndok, tapi awakmu gak gelem, mbah gak mekso (hidupmu akan terjamin bila kamu mau, tapi saya tidak mau memaksa kalau kamu tidak mau).”

Ucapan Mbah Krasa sama sekali tidak menjawab pertanyaan Sri. “Nggih, kulo purun (iya saya mau),” Sri pun menjawab. Ia melangkah pergi menuju Dini dan Erna. Ternyata, mereka bertiga diterima di sini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 komentar

  1. Fantastic perspective! The points you made are thought-provoking. For more information, I found this resource useful: FIND OUT MORE. What do others think about this?