“Awakmu lali, perintahku Sri, iku ngunug bahaya, isok mateni Dela, ojo sampe lali meneh yo Sri (kamu lupa dengan perintahku, itu sangat berbahaya, bisa membunuh Dela, jangan diulangi ya).”
Erna yang sedari tadi dian saja akhirnya ikut berbicara. “Mbah enten nopo sami Dela, kok iso Dela kate mateni kulo kabeh Sri (Mbah tolong kasih tahu, apa yang terjadi sama Dela, kok bisa-bisanya dia mau bunuh saya dan Sri).”
Mbah Tamin duduk lagi lalu mengatakan, “Berarti wes ndelok (berarti kamu sudah lihat).”
“Iku ngunu Cayajati, sing kepingin mateni Dela, tapir a isok, mergane Cayajati butuh singgarahane, koyok sak bojo, santet sewu dino, mek di nduwei wong pados podo siap mati. (itu adalah cayajati yang ingin membunuh Dela tapi tidak bisa karena ini butuh Singgarahane seperti sepasang suami isteri. Santet seribu hari, hanya dimiliki oleh yang siap menanggung dosa dan siap mati bersama).”
Sri dan Erna masih terlihat bingung, ia tidak mengerti.
Mbah Tamin menerawang jauh, menayap sisi hutan tergelap yang Sri saksikan dengan mata kepala sendiri. Bahwa sebenarnya mereka tidak benar-benar sendiri di hutan ini. Dengan suara berat, mbah Tamin mengatakannya, “Terlalu awam, kango ngerti iki (terlalu awam untuk mengerti ini).”
“Intine, ilmu santet sewu dino, iku pembuka ritual kanggo mateni sak keluarga sampe sakabehe keturuna iku entek (intinya, ilmu santet seribu hari adalah pembuka ritual, untuk menghabisi satu garis keluarga sampai habis keseluruhannya).”
Setelah percakapan itu, Mbah Tamin masuk ke dalam kamar, mengunci pintunya dan membiarkan semua kejadian itu meluap begitu saja. Banyak pertanyaan yang masih menggantung di pikiran Sri dan Erna.* (Bersumber dari Twitter @simplem81378523 / PARISAINI R ZIDANIA)
This piece was both insightful and entertaining! For additional info, visit: FIND OUT MORE. What do others think?