Kisah Sewu Dino, Bagian 19

Itu adalah kali terakhir Sri keluar dari hutan itu. Tidak ada percakapan apapun selama di mobil, mereka menuju kediaman Mbah Krasa. Sri dan Dini duduk di luar rumah. Di dalam, ia melihatnya Mbah Krasa tampak berbicara serius dengan Mbah Tamin. Entah apa yang mereka bicarakan. Namun Sri tidak tahu lagi harus apa, ia hanya ingin pamit saja. Namun, siapkah ia dengan konsekuensinya bila ia memilih untuk pamit?

Sama seperti Sri, Dini juga memiliki perasaan yang sama. Bila pekerjaan dengan gaji besar itu memiliki resiko diluar nalar seperti ini, tidak akan ada orang waras yang mau menerimanya.

Setelah menunggu lama, Sri dan Dini dipanggil untuk menghadapp Mbah Krasa. Sri dan Dini melangkah masuk. Mereka dipersilahkan duduk, memandang wanita yang selalu saja membuat Sri merasa segan setiap melihat matanya. “Aku melok sedih ambek nashi kancamu ndok (Saya ikut bersedih mendengar nasib temanmu).”

“Tapi, aku wes jamin keluargane, bakal oleh kewajibane- sing pantes diterimo (Tapi, saya sudah menjamin keluarganya akan dapat semua kewajiban yang memang patas mereka dapatkan).”

“Sak iki, opo sing kepingin mok omongno nang ngarepku (Sekarang, katakan apa yang ingin kamu bicarakan sama saya).”

“Kulo bade mundur mbah (saya mau mundur).” Mbah Krasa memandang Sri, cukup lama, ada jeda keheningan diantara mereka. Suasana itu sama sekali tidak mengenakan bagi Sri dan Dini. Sebelum Mbah Krasa tersenyum, “Boleh (bisa).”

“Tapi, aku ra jamin nyowomu ndok (Tapi, aku tidak mau menjamin nyawamu ya).”* (Bersumber dari Twitter @simplem81378523 / PARISAINI R ZIDANIA)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 komentar

  1. I thoroughly enjoyed this article. The analysis was spot-on and left me wanting to learn more. Let’s discuss further. Click on my nickname for more engaging discussions.

Berita Jabar Lainnya