Sri merasa ngeri. Sekarang ia merasa tahu sesuatu. Namun, ada satu lagi yang harus ia cari kebenarannya, bila benar pertanyaan lengkap, begitupun jawabannya. Tidak hanya Dela yang hidup di ujung maut. Tapi, mereka bertiga, semua terjerat dalam satu garis weton yang sama.
Sejahat itu keluarga ini, untuk harga nyawa mereka semua. Lalu terdengar suara orang mengetuk pintu. Erna pun sama, ia langsung berdiri.
“Mbah Tamin mueh Sri, ayo takon mbah asu iku. Pokoke kudu di jelasno onok opo ambeh cah gendeng iki (mbah Tamin pulang Sri, ayo kita tanya orang tua itu, dia harus menjelaskan semuanya dan ada apa sana anak gila ini).”
Erna pergi. Sri baru ingat pesan mbah Tamin, ia langsung bergegas bersiap menghentikan Erna. Sri lari mengejar Erna. Untungnya, ia masih sempat mencengkram tangan Erna. Mereka terdiam di depan pintu rumah.
Suara letukan itu, terdengar lagi, setiap ketukannya terdiri dari tiga ketukan. Semakin lama, ketukannya semain cepat, semakin cepat, sampai tidak ada ketukan lagi.
Erna dan Sri saling berpandangan, bingung. Keheningan menenggelamkan mereka di dalam rumah itu. Sebelum ada sesuatu yang menggebrak pintu dengan keras hingga membuat mereka tersentak.