Kisah Sewu Dino, Bagian 23

 “Aku melok berduka ambik kancamu Sri, mbak Din (aku ikut berduka ya Sri dan mbak Dini),” kata Sugik. Tidak henti-hentinya ia memandang Sri dan Dini yang sejak pertama masuk tidak ada interaksi diantara mereka.  Seakan memilih untuk diam bersama dan hal itu jelas membuat canggung keduanya.

Benar saja, sesuai dengan dugaan Sri sebelumnya, jalan yang mereka tempuh bukan jalan menuju alas itu. Melainkan jalan menuju ke luar kota menuju sebuah Desa. Karena ketika mobil masuk ke sebuah gapura. Suasana sepi dari kehidupan desa ketika malam langsung menyambut mereka.

Banyak rumah yang masih menggunakan gedek (bambu anyam) di samping kiri dan kanan. Setiap jengkal rumah, saling bejauhan. Dari dalam mobil, Sri hanya bisa mengamati bahwa tempat ini tidak berbeda jauh dari nuansa ketika mereka tinggal di hutan. Masalahnya, Sri belum melihat satu manusia pun di sini, seakan ini adalah sebuah desa mati.

Mobil masuk ke dalam gang. Dengan pemandangan yang sama, batu kerikil keras di sepanjang jalan menambah kesan bahwa Desa ini pasti desa pinggiran. Jauh darimana-mana dan ketika mobil berhenti. Saat itulah, Sri melihatnya.

Mbah Tamin tengah berdiri di sebuah rumah yang menyerupai gaya bangunan pondok dengan atap melebar.  Rumah kayu jati menjadi corak bahan utama, seakan memberitahu Sri ini adalah tempat yang ia janjikan.* (Bersumber dari Twitter @simplem81378523 / PARISAINI R ZIDANIA)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

193 komentar